Abdurrahman Wahid

Revisi sejak 28 September 2025 22.08 oleh Budi (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi 'Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, adalah seorang tokoh Indonesia yang dikenal sebagai ulama, budayawan, dan politisi. Ia menjabat sebagai Presiden Indonesia ke-4 dari tahun 1999 hingga 2001. Gus Dur dikenal luas sebagai tokoh pluralis yang memperjuangkan demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan beragama. Karismanya dan gaya kepemimpinannya yang unik membuatnya dikenang sebagai salah satu presiden yang paling berpengaruh dalam sejara...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, adalah seorang tokoh Indonesia yang dikenal sebagai ulama, budayawan, dan politisi. Ia menjabat sebagai Presiden Indonesia ke-4 dari tahun 1999 hingga 2001. Gus Dur dikenal luas sebagai tokoh pluralis yang memperjuangkan demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan beragama. Karismanya dan gaya kepemimpinannya yang unik membuatnya dikenang sebagai salah satu presiden yang paling berpengaruh dalam sejarah politik Indonesia, meskipun masa pemerintahannya relatif singkat.

Kehidupan Awal

Abdurrahman Wahid lahir pada 7 September 1940 di Jombang, Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga yang memiliki pengaruh besar dalam Nahdlatul Ulama (NU). Ayahnya, KH Wahid Hasyim, adalah mantan Menteri Agama Republik Indonesia, sedangkan ibunya, Nyai Sholehah, juga merupakan tokoh yang aktif dalam kegiatan keagamaan. Sejak kecil, Gus Dur dididik dalam lingkungan pesantren yang membentuk wawasan keislaman dan kebudayaan yang luas.

Pada masa remajanya, Gus Dur menempuh pendidikan di berbagai pesantren ternama, kemudian melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Setelah itu, ia juga belajar di Universitas Baghdad, Irak, memperdalam pengetahuan tentang dunia Islam dan pemikiran modern. Pendidikan internasional ini membentuk pandangan inklusif yang kelak menjadi ciri khasnya.

Karier di Nahdlatul Ulama

Sekembalinya ke Indonesia, Gus Dur aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan. Ia bergabung dengan NU dan menjadi salah satu tokoh sentral organisasi tersebut. Pada tahun 1984, Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum NU, dan di bawah kepemimpinannya, NU mengalami transformasi besar dengan kembali ke khittah 1926, yakni fokus pada pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan, menjauh dari politik praktis.

Selama memimpin NU, Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang membela kaum minoritas dan memperjuangkan kebebasan beragama. Ia sering berdialog dengan berbagai kelompok agama dan etnis di Indonesia, termasuk Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sikap ini mengukuhkan reputasinya sebagai simbol toleransi.

Perjalanan Menuju Kepresidenan

Gus Dur mulai terjun ke politik nasional pada era Reformasi setelah jatuhnya Suharto pada tahun 1998. Ia mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai kendaraan politik yang berakar pada basis NU. Dalam Pemilu 1999, PKB meraih suara signifikan, dan melalui kompromi politik di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Gus Dur terpilih sebagai Presiden Indonesia.

Pemilihannya sebagai presiden dianggap sebagai simbol kemenangan demokrasi dan keterwakilan kelompok Islam moderat dalam pemerintahan nasional. Gus Dur menjadi presiden pertama yang lahir dari kalangan organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Masa Pemerintahan

Sebagai presiden, Gus Dur mengeluarkan berbagai kebijakan kontroversial namun progresif. Ia menghapuskan larangan terhadap ajaran Konghucu, menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional, dan memberikan ruang lebih bagi kebebasan pers. Gus Dur juga berusaha menyelesaikan konflik di Aceh dan Papua melalui pendekatan dialog.

Namun, masa pemerintahannya diwarnai oleh berbagai tantangan, termasuk masalah politik, ekonomi, dan hubungan dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hubungan yang tegang dengan DPR dan MPR menjadi salah satu faktor yang mempercepat berakhirnya masa jabatannya.

Kontroversi

Gus Dur sering mengeluarkan pernyataan yang dianggap kontroversial oleh sebagian kalangan. Gaya bicaranya yang lugas dan humoris kadang disalahartikan atau menimbulkan polemik. Kebijakannya dalam melakukan perombakan kabinet secara mendadak juga mengundang kritik.

Meskipun demikian, banyak pihak mengakui bahwa Gus Dur adalah tokoh yang berani mengambil risiko demi memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi. Ia tidak segan menghadapi tekanan politik demi mempertahankan prinsip pluralisme.

Pemakzulan

Pada tahun 2001, MPR mengadakan Sidang Istimewa yang berujung pada pemakzulan Gus Dur dari jabatan presiden. Pemakzulan ini terjadi di tengah tuduhan penyalahgunaan kekuasaan dan konflik politik yang memuncak. Gus Dur menolak tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa pemakzulannya adalah hasil dari konspirasi politik.

Setelah tidak lagi menjabat sebagai presiden, Gus Dur tetap aktif dalam kegiatan sosial, politik, dan kebudayaan. Ia terus menyuarakan pesan perdamaian dan toleransi di berbagai forum nasional maupun internasional.

Kehidupan Pribadi

Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah, dan mereka dikaruniai empat anak. Ia dikenal sebagai pribadi yang sederhana dan humoris. Kegemarannya membaca dan berdiskusi membuatnya selalu memiliki wawasan luas dalam berbagai bidang.

Selain itu, Gus Dur juga memiliki minat besar pada seni dan budaya. Ia sering menghadiri pertunjukan musik, teater, dan pameran seni, serta mendukung perkembangan budaya lokal di berbagai daerah.

Warisan dan Pengaruh

Warisan Gus Dur meliputi berbagai kontribusi penting bagi bangsa Indonesia:

  1. Memperjuangkan pluralisme dan toleransi antaragama.
  2. Mendorong kebebasan pers dan demokrasi.
  3. Melindungi hak-hak minoritas.
  4. Mempromosikan dialog lintas budaya.
  5. Menghapus diskriminasi terhadap penganut Konghucu.

Pengaruhnya masih terasa hingga kini, terutama dalam gerakan sosial yang mengedepankan keberagaman dan hak asasi manusia. Banyak generasi muda yang menjadikan Gus Dur sebagai teladan dalam memperjuangkan keadilan.

Kematian

Abdurrahman Wahid meninggal dunia pada 30 Desember 2009 di Jakarta akibat komplikasi penyakit. Wafatnya Gus Dur meninggalkan duka mendalam bagi rakyat Indonesia. Upacara pemakaman dilakukan di Jombang, di kompleks pemakaman keluarga besar NU.

Ribuan orang hadir untuk memberikan penghormatan terakhir, termasuk tokoh-tokoh nasional dan internasional. Kehilangan Gus Dur dirasakan sebagai kehilangan seorang bapak bangsa yang mengajarkan nilai kemanusiaan.

Peringatan dan Penghormatan

Setelah wafatnya, berbagai pihak memberikan penghormatan kepada Gus Dur. Namanya diabadikan sebagai nama jalan, gedung, dan lembaga pendidikan. Buku-buku biografi dan karya tulis tentangnya banyak diterbitkan, mendokumentasikan pemikiran dan perjuangannya.

Setiap tahun, berbagai komunitas dan organisasi mengadakan acara untuk mengenang jasa-jasanya. Gus Dur tetap dikenang sebagai tokoh yang mengajarkan bahwa keberagaman adalah kekuatan bagi Indonesia.